Beranda | Artikel
Memahami Fikih Nadzar dalam Tinjauan Madzhab Syafii
Rabu, 5 Oktober 2022

Bagaimana memahami fikih nadzar? Coba tinjau bahasan dalam madzhab Syafii, pelajaran dari Matan Taqrib dan Fath Al-Qarib serta penjelasan lainnya.

 

Nadzar adalah iltizamul qurbah lam tata’ayyan bi shiighoh, melazimkan (mewajibkan) suatu ibadah yang tidak diharuskan, dengan lafaz tertentu.

Dalam Fath Al-Qorib disebutkan, nadzar adalah:

اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لاَزِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ

“Mewajibkan suatu bentuk ketaatan yang berdasarkan syariat asalnya tidaklah wajib.”

Akhirnya, ketaatan itu menjadi wajib karena adanya nadzar, padahal sebelumnya tidaklah wajib.

 

Rukun nadzar

  1. Naadzir: berakal, baligh, ikhtiyar (atas pilihan sendiri)
  2. Mandzur bihi: qurbah lam tata’ayyan
  3. Shighah: lafaz yang menyatakan mewajibkan diri

Baca juga: Nadzar Baru Teranggap Kalau Diucapkan

 

Nadzar ada dua macam

  1. Nadzar al-lajaj yaitu nadzar yang melarang diri dari melakukan sesuatu, tetapi tidak dimaksudkan untuk ketaatan (qurbah) dan wajib membayar kafarat sumpah atau yang ia sanggupi dengan melakukan nadzar.
  2. Nadzar tabarrur, ada dua bentuk yaitu: (a) nadzar yang tidak dikaitkan pada sesuatu (ghairu mu’allaq) seperti bernadzar “LILLAHI, wajib atas saya berpuasa atau memerdekakan budak”; (b) nadzar yang dikaitkan pada sesuatu yang diharap dan disukai oleh jiwa (mu’allaq), seperti “jika penyakitku disembuhkan oleh Allah, aku mengharuskan diriku untuk shalat, puasa, atau sedekah”, maka ia punya keharusan melaksanakan shalat minimal dua rakaat, puasa minimalnya sehari, sedekah yang minimal dianggap harta yang sedikit untuk bersedekah. Jika bernadzar shalat atau puasa pada waktu tertentu lantas lupus, shalat dan puasa itu wajib diqadha.

Nadzar yang wajib ditunaikan adalah nadzar al-mujazah (nadzar ketaatan) jika dikaitkan dengan suatu yang mubah dan hasil nadzar adalah bentuk ketaatan. Jika nadzar tersebut terwujud, wajib ditunaikan.

 

Tidak boleh bernadzar dalam maksiat

Nadzarnya tidaklah sah dan pelakunya berdosa. Nadzar ini ada dua bentuk:

  1. Mengaitkan dengan suatu ketaatan agar mendapatkan hasil berupa perbuatan maksiat. Contoh: jika saya membunuh si fulan, maka saya akan berpuasa selama sehari. Nadzar semacam ini karena dikaitkan dengan maksiat, maka dihukumi maksiat.
  2. Bernadzar untuk melakukan maksiat. Contoh: bernadzar mau meminum khamar, membunuh seseorang tanpa kesalahan, bunuh diri, membunuh anak. Nadzar semacam ini tidak sah dan tidak perlu ditunaikan.

Dalam hadits disebutkan,

وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (HR. Bukhari, no. 6696)

 

Nadzar dalam hal mubah

  1. Meninggalkan yang mubah
  2. Melaksanakan yang mubah

Seperti ini tidaklah sah karena nadzar itu harus dalam ketaatan.

Siapa yang bersumpah dalam nadzar mubah, maka tidak wajib ia menunaikan kafarat.

 

Nadzar dalam hal makruh

  • Tidaklah dianggap, seperti bernadzar “akan menoleh dalam shalat”.

 

Catatan:

  • Bernadzar dengan sesuatu yang wajib ‘ain seperti shalat lima waktu tidaklah sah. Karena wajib syari lebih didahulukan daripada wajib karena nadzar.
  • Bernadzar dengan sesuatu yang wajib kifayah, maka tetap menjadi wajib.

 

Kafarat sumpah

(1) memilih antara tiga hal yaitu:

(a) memerdekakan satu orang budak mukmin yang selamat dari cacat yang mengurangi bekerjanya, atau

(b) memberi makan sepuluh orang miskin setiap miskin satu mud dari makanan pokok di negerinya, atau

(c) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin masing-masing satu pakaian (kemeja, serban, khimar, baju, tidak mesti baru, yang penting kualitasnya tidak hilang);

(2) jika tidak menemukan dari tiga hal tadi, maka berpuasa selama tiga hari, tidak disyaratkan berturut-turut.

Dalil tentang kafarat sumpah adalah firman Allah Ta’ala,

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)

Baca juga: Seputar Hukum Nadzar

 

Referensi:

  • Fath Al-Qarib Al-Mujib (Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar fii Syarh Ghayah Al-Ikhtishar). Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Ibnu Qasim Al-Ghazzi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  • Khulashah Taqrib Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib (Khulashah Al-Masail ma’a At-Tasyjiiroot). Abu Musthafa Al-Baghdadi.
  • Tashil Al-Intifa’ bi Matan Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Ta’allaqa bihi Dalil wa Ijma’ minal Buyu’ ila Akhir Al-Kitab. Syaikh “Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri. www.alukah.net.

 

 

Diselesaikan di Solo pada 10 Rabiul Awal 1444 H, 6 Oktober 2022

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/34768-memahami-fikih-nadzar-dalam-tinjauan-fikih-syafii.html